PENDIDIKAN YANG MENGHORMATI GURU DAN MURID (Refleksi Maulid Nabi) - SMPIT Thariq Bin Ziyad
Headlines News :
Menguatkan Simpul Akhlak, Al-Quran, Akademik Dan Bahasa Menuju Trendsetter Sekolah Islam Unggulan
Home » » PENDIDIKAN YANG MENGHORMATI GURU DAN MURID (Refleksi Maulid Nabi)

PENDIDIKAN YANG MENGHORMATI GURU DAN MURID (Refleksi Maulid Nabi)

Written By Admin on Saturday, January 3, 2015 | 8:03 AM

Oleh Prof. Dr. Tobroni, M.Si.
Bulan ini adalah bulan Rabi’ul Awal atau bulan Maulid. Pada bulan ini 14,5 abad yang lalu lahirlah anak manusia dalam keadaan yatim, tetapi ia adalah  manusia pilihan: cerdas,  berbudipekerti luhur,  memiliki kepribadian yang kokoh dan agung.  Ia adalah Nabi Muhammad SAW.   Berbicara tentang Nabi Muhammad SAW akan segera terbayang di benak kita, sosok manusia teladan bagi semua orang, baik si kaya maupun si miskin, berkedudukan maupun orang biasa, tua maupun muda, dan laki-laki maupun perempuan. Keagungan pribadi Muhammad Rasulullah diabadikan dalam al-Qur’an berupa pujian Allah:  “Sungguh pada diri dirimu (Muhammad) terdapat akhlak yang agung” (al-Qalam 4). Dalam ayat lain Allah berfirman  dalam bentuk kalimat berita tetapi berisi perintah untuk meneladani Rasulullah SAW: “Sungguh terdapat teladan yang baik dalam diri Rasulullah bagimu, bagi orang yang berharap berjumpa Allah dan hari akhir” (al-AQhzab 21).
Salah satu hal yang patut kita teladani dari Rasulullah Muhammad SAW adalah kepeduliannya dalam persoalan pendidikan. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah Rasulullah bersabda: “Hanyasannya Aku di utus oleh Allah sebagai pendidik” (H.R. Ibnu Majah). Dalam hadits Riwayat Muslim rasulullah bersabda: “Allah Ta’ala tidak mengutusku sebagai orang yang menyusahkan, atau orang-orang yang mencari kesulitan, tetapi Dia mengutusku sebagai pendidik dan orang yang memudahkan”. Pernyataan Rasulullah bahwa dirinya adalah seorang pendidik menunjukkan betapa mulianya seorang guru atau seorang pendidik itu. Sebab sepengetahuan Khatib, tidak ada bunyi Hadits Rasulullah yang mengatakan bahwa beliau diutus sebagai kepala Negara atau sebagai panglima perang, walaupun dalam konteks kenegaraan Rasulullah adalah pimpinan pemerintahan dan pimpinan militer tertinggi. Karena itu kalau Rasulullah memaklumkan dirinya sebagai pendidik, maka tentulah ia adalah pendidik yang paling utama, dan pendidik-pendidik lain dari umatnya memiliki kedudukan satu tingkat dibawah beliau dan sepatutnya meneladani bagaimana Rasulullah dalam mendidik umatnya atau bagaimana dalam memperlakukan para pendidik.
Rasulullah SAW adalah pemimpin yang sangat peduli terhadap pendidikan. Dalam keadaan kesulitan keuangan maupun dalam keadaan perang yang paling sulitpun beliau sangat memperhatikan pendidikan. Dalam berbagai peperangan, Rasulullah sangat sedih dan cemas apabila yang gugur adalah Pendidik yaitu orang-orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya kepada manusia. Dalam berbagai peperangan,  pasukan muslim  berhasil menaklukkan  dan menawan pasukan musuh. Kepada tawanan perang yang dapat mengajari membaca dan menulis dapat dibebaskan dengan tebusan mau menjadi guru dan diperlakukan dengan penuh penghormatan.  Ketika sekelompok pemuda hendak mendaftarkan diri sebagai prajurit yang pada waktu itu sangat dibutuhkan, Rasulullah menyuruh sebagian dari mereka untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Dan bahkan perintah untuk memperdalam ilmu bagi para pemuda itu ditegaskan dalam al-Qura’n: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya ke medan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap firqah (daerah/suku)  diantara mereka serombongan orang yang memperdalam ilmu pengetahuan, agar dapat memberi peringatan (pembaharu)  kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepada mereka agar mereka dapat menjaga diri” (at-Taubah 122).
Ayat di atas mengingatkan kepada umat Islam agar senantiasa mengutamakan urusan pendidikan termasuk di masa yang paling sulit sekalipun yaitu pada masa peperangan. Bahkan secara tersirat ayat tersebut menyuruh menuntut ilmu di tempat yang jauh, dan apabila para penuntut ilmu itu telah berhasil hendaklah mereka diperlakukan dengan layak agar dapat mengamalkan ilmunya yaitu memberi pencerahan kepada bangsanya agar bangsanya tidak tergelincir kepada kehancuran. Seandainya umat Islam, Bangsa Indonesia, atau kita dapat mengamalkan surat Taubah 122 ini niscaya akan menjadi umat atau bangsa yang dapat menjaga  diri, yaitu menjaga diri dari minta-minta, menjaga diri dari hinaan atau campur tangan bangsa lain yang menginjak-injak harga diri dan kedaulatan kita. Sayangnya kita bangsa Indonesia dan khususnya umat islam terlalu besar syahwat politiknya, sampai-sampai tidak dapat dibedakan antara organisasi dakwah atau organisasi politik, tidak bias dibedakan antara tokoh agama dengan tokoh politik. Bahkan sekolah dan masjidpun dijadikan sebagai alat perjuangan politik praktis.
Apa yang dilakukan Rasulullah yaitu mengutus sebagian generasi mudanya untuk menuntut ilmu di masa peperangan yang paling sulit, dan membebaskan tawanan perang yang dapat mengajar itu dianggap aneh oleh kebanyakan sahabat dan para tawanan perang itu sendiri. Apa yang dilakukan Rasulullah itu ternyata merupakan strategi perang yang paling cerdik dan sebuah strategi memenangkan  pertempuran yang sesungguhnya, yaitu pertempuran merebut masa depan. Dan ini terbukti umat Islam pernah mengalami kejayaan selama lima abad ketika umat Islam menghargai ilmu, guru dan murid.  Sikap Rasulullah yang menghargai guru dan murid dan ilmu pengetahuan itulah yang dapat menjadi kekuatan dalam membangun peradaban Islam.
Ketika tentara Sekutu pimpinan Amerika Serikat menjatuhkan bom atom dan meluluhlantakkan  kota Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar Hiro Hito mengumpulkan para pembantunya dan bertanya: “Berapa guru yang masih tersisa”.  Sang Kaisar tidak bertanya tentang prajurid yang tewas atau bangunan yang hancur, melainkan bertanya tentang keadaan guru.  Pertanyaan Sang Kaisar ini terasa aneh, karena tidak membahas strategi menyerang balik tentara sekutu. Akan tetapi justru pertanyaan itulah yang menurut Kaisar paling tepat dan pasti kalau Jepang hendak mengalahkan Amerika dan sekutunya.   Dan sekarang apa yang dipikirkan  oleh Kaisar itu telah terbukti. Jepang telah berhasil mengalahkan Amerika dan sekutunya. Jepang mengalahkan Amerika tidak dengan senjata bom atom atau nuklir, melainkan dengan ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan sebuah bangsa akan berjaya dalam bidang-bidang lain seperti teknologi, ekonomi dan militer.
Dalam kajian strategi kebudayaan, kekerasan senjata tidak mesti dilawan dengan senjata. Ejekan, penindasan, teror dan bahkan bom musuh tidak harus dibalas dengan yang serupa, karena kalau kita tidak memiliki kekuatan yang lebih baik atau minimal sebanding justru akan melemahkan dan menghancurkan kita. Akan tetapi dengan ilmu pengetahuan manusia dapat meraih apa saja yang dikehendaki. Dahsyatnya kekuatan senjata ternyata dapat dikalahkan dengan kelemahlembutan pena (Qalam). Dengan ilmu pengetahuan manusia dapat mengalahkan musuh-musuhnya dengan tanpa berperang dan tanpa merendahkannya. Dengan ilmu pengetahuan manusia dapat meraih kearifan, kebijaksanaan, harta, kekuasaan dan derajat yang tinggi. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menghendaki (kebahagiaan) dunia hendaklah dengan ilmu, barang siapa menghendaki akhirat hendaklah dengan ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya hendaklah dengan ilmu”.
Para ahlul hikmah mengatakan bahwa Ilmu adalah kekuatan (knowledge is power), ilmu adalah mukjizat (knowledge is miracle), ilmu adalah perisai yang akan melindungi pemiliknya dari kehancuran. Bangsa yang terhormat, berjaya dan menjadi penguasa di dunia adalah  bangsa yang berilmu pengetahuan. Dalam panggung sejarah kita menyaksikan bangsa yang memiliki  kekayaan alam yang berlimpah tetapi sedikit ilmu pengetahuan, terbukti kekayaannya tidak dapat menolong dan memberikan kemaslahatan,  melainkan justru dapat menimbulkan konflik dan kehancuran. Sebaliknya bangsa yang berilmu pengetahuan walaupun tidak memiliki kekayaan alam terbukti dapat menciptakan kemakmuran, kesejahteraan dan kehormatan.
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Tuhan mendorong, memanggil dan memerintah agar umat Islam menuntut ilmu dan menjadi umat yang yang berilmu. Sebaliknya Tuhan menyindir, mengejek dan mengecam umatnya yang bodoh tidak mau belajar. Allah berjanji akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan lebih tinggi dibanding umat atau bangsa lainnya. “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat”.
Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana agar umat Islam menjadi umat yang terpelajar, umat yang berilmu pengetahuan dan pada akhirnya adalah menjadi umat yang dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat? Rasulullah SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh al-Darimy: “Manusia itu orang yang berilmu dan orang yang belajar, dan tak ada yang lebih baik lagi setelah itu”. Hadis ini dengan sangat tegas memberikan pesan bahwa hanya dengan ilmu dan kemauan belajarlah manusia itu dapat beraktualisasi dan menunjukkan eksistensi kemanusiaannya. Manusia yang tidak berilmu dan tidak mau belajar atau telah berhenti belajar adalah “bukan manusia” atau diibaratkan telah mati atau mayat hidup.
Dalam sabdanya yang lain Rasulullah bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu terlaknat, terlaknat apa yang ada di dalamnya kecuali dzikrullah dan apa yang mengikutinya, orang yang berilmu dan orang yang belajar. (H. R. Tirmidzi).
Dua Hadits di atas menegaskan pentingnya sebuah pendidikan bagi kehidupan manusia. Inti dari pendidikan adalah interaksi antara guru dan murid. Islam adalah agama yang sangat menghargai dan memuliakan guru dalam kedudukan yang sangat tinggi: Rasulullah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Timidzi: “Seorang alim yang mengamalkan dan mengajarkan ilmunya dianggap sebagai orang besar di kerajaan langit”.  Dalam Hadits lain Rasulullah bersabda: “Keutamaan orang yang berilmu atas seorang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang . Sesungguhnya ulama itu para pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan Dinar dan dirham, tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, berarti dia telah mengambil bagian yang berlimpah”(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dua Hadits di atas cukuplah sebagai dasar keharusan untuk bersikap dalam memuliakan guru dan mengutamakan pendidikan. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwa orang-orang yang berhasil dalam hidupnya adalah orang-orang yang sangat menghormati gurunya. Bangsa-bangsa yang berhasil membangun peradaban besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi harkat dan martabat guru. Demikian juga lembaga pendidikan yang mengalami kemajuan dan dapat melahirkan lulusan yang berkualitas adalah lembaga pendidikan yang menghormati  dan menghargai guru atau tenaga pengajarnya. Sebaliknya, seseorang,  suatu bangsa, suatu umat maupun  sebuah lembaga pendidikan yang tidak mengormati guru, tidak memperhatikan aspirasinya, tidak memperhatikan kesejahteraannya terbukti menjadi  umat, lembaga  ataupun bangsa yang terpuruk.
Kemunduran peradaban Islam serta kemiskinan dan keterbelakangan umat Islam sejak beberapa abad terakhir ini terutama disebabkan oleh kurangnya perhatian umat terhadap pendidikan dan terlebih lagi kurangnya penghargaan terhadap guru. Berbagai penelitian menunjukkan guru-guru madrasah, pesantren, sekolah dan perguruan tinggi Islam nasibnya kurang diperhatikan. Mereka mengajar tetapi tidak dibayar, melainkan hanya diberi uang transport dengan jumlah yang sangat tidak memadai. Banyak lembaga pendidikan Islam yang berlomba-lomba membangun fisik, melengkapi fasilitas pendidikannya, melakukan publikasi besar-besaran tetapi tidak secara tulus memperhatikan guru-gurunya.  Ini merupakan sebuah kesalahan besar umat, karena bertentangan dengan nilai dasar Islam yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi guru. Nilai-nilai dasar Islam tentang keagungan dan kemuliaan guru dan para ulama yang sangat penting ini sepertinya semakin terkikis saja. Kita sering menyaksikan secara langsung di masyarakat nasib guru yang kurang memperoleh penghargaan di tengah-tengah murid dan masyarakatnya. Sinetron-senetron di televisi  atau  film dimana  siswanya melecehkan gurunya. Kita juga sering menyaksikan terdapat guru-guru yang diperlakukan tidak adil karena mempertahankan idealismenya. Sikap tidak menghargai guru baik yang dilakukan negara, masyarakat, pimpinan lembaga pendidikan maupun murid dalam berbagai bentuknya mencerminkan budaya rendah, karena tidak menghargai guru dan ini merupakan cermin tidak adanya penghargaan terhadap ilmu. Pemimpin bangsa, pemimpin lembaga pendidikan, dan murid-murid yang tidak menghargai ilmu juga tidak akan mampu menghargai guru-gurunya.
Islam juga memerintahkan umatnya untuk menyayangi, menghormati dan menempatkan murid dalam posisi yang tinggi. Sebagaimana Hadits Rasulullah SAW  sebagaimana diriwayatkan oleh “Barang siapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. Sesungguhnya Malaikat merebahkan sayapnya karena ridlo terhadap penuntut ilmu. Dan sesungguhnya orang yang berilmu, dosa-dosanya akan dimintakan ampun oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi termasuk ikan-ikan yang ada di air” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Keterangan di atas menegaskan bahwa guru dan murid sama-sama mulia dan memiliki kedudukan yang khusus di sisi Allah dan di sisi manusia karena keduanya sama-sama mencintai ilmu. Karena itulah hubungan atau interaksi guru-murid haruslah dalam koridor saling menghormati, saling menghargai dan saling menyayangi dan saling peduli. Guru sebagai orang yang lebih tua dan lebih berpengalaman, sudah sepatutnya punya rasa kasih dan peduli kepada muridnya, sementara murid menghormati guru.
Fenomena yang terjadi sekarang ini, hubungan guru-murid sudah banyak yang meninggalkan nilai-nilai keislaman. Banyak guru yang tidak mengenal murid-muridnya, dan yang lebih parah lagi murid yang tidak mengenal nama gurunya . Ketidaktahuan murid terhadap nama gurunya menggambarkan ketidakpedulian murid terhadap guru dan ilmu yang diajarkan itu sendiri. Bila bertemu di luar kelas tidak saling menyapa atau memberikan salam. Interaksi guru murid cenderung bersifat transaksional, dari pada hubungan kemanusiaan, hubungan sinergi keilmuan dan hubungan atau interaksi edukatif yang tulus.  Tayangan telivisi sering menampilkan sinetron  dimana seorang guru tidak dapat membawakan dirinya dengan baik di hadapan murid-muridnya, seorang guru yang tidak berwibawa dan tidak sungguh-sungguh dalam membina murid-muridnya. Sebaliknya murid yang tidak dapat menghargai dan menghormati gurunya.
Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan, karena pendidikan itu memproduksi manusia, yaitu bagaimana agar lulusannya menjadi orang yang saleh, berilmu pengetahuan, professional dan berbudi pekerti yang luhur. Karena itu guru dan murid  harus bersungguh-sungguh, saling menghormati, menghargai dan mengasihi, agar tujuan pendidikan yang mulia itu dapat  terwujud. Guru, murid dan pimpinan lembaga pendidikan harus tulus, tekun, komitmen dan dedikasi dalam mengmbangkan amanah pendidikan. Alangkah ruginya guru yang mengajar apabila tidak dapat melahirkan generasi yang shalih, alangkah ruginya murid yang belajar apabila tidak memperoleh ilmu yang bermanfaat, dan alangkah ruginya pimpinan atau penyelenggara pendidikan apabila lembaganya tidak mampu memenuhi harapan guru dan muridnya. Mudah-mudahan kita terhindar dari perbuatan yang sia-sia dan Allah senantiasa memberikan kekuatan lahir dan batin dan petunjuk jalan yang lurus kepada kita sehingga kita semua dapat berbuat yang terbaik (ahsanu amala).
sumber : http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/pendidikan-yang-menghormati-guru-dan-murid-refleksi-maulid-nabi/
Share this article :

0 comments:

Video Profil LPIT TBZ

 
Support : www.thariq.com | re-Design by adi-tbz
Copyright © 2011. SMPIT Thariq Bin Ziyad - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger